Label

Minggu, 01 Juli 2012

Misteri Tujua Ri Karebosi

Ramalan Tujua Ri karebosi

Tujui saribattang salapangi silasukkang ruaya ni tarekapi nanigappa sabba ia ammantang ri tassere-serea ammiliki alanga lolong bonena. Annang burane sere baine, bainea buranne tongi, ia bungko ia tongi ulua, Pagawena karebosi lomoro serea.

Nipattangnanganko sallang kadera tuju batunna ri Karebosi, annang kaboneang, sere kosong, nia sallang abbara-barrasa, urusangi na cica, iamintu kosong kaderana, saba tunai na kamase.


Mingka punna nuassengji karaengnu ribatangkalennu salama makontu. Cilakako punna nu onjoki Karebosi. Tau upa ammantanga ri Ballana amempo-mempo, lanri naissengna kalenna, naisseng karaenna. Lana sareko sallang Barisallangna Sitti Fatimah, sahada simula-mulannapa linoa nubaliangi nanatarima, lanisuroko sallang assahada assahadako ribunoinjako, tasahadako nibunoinjako.

Lanikutanangko sallang tau battu kemaeko, kemaeko lassu, kemaeko ammantang, inai mpaparekangko balla, inai mantang, siapa bentengna, siapai padaseranna ballanu, siapa sulapana balannu, siapai panyingkuluna ballanu, inai lalang dudu, inai ri lasatangana, inai pantara dudu, inai imannu, assambayang jako, addalekemaeko punna sambayangko, inai imannu, paui tojeng-tojeng Imannu.

Lanisuroko sallang anjojo karaeng, lani suro tongko sallang anjojo banderana karaengnu.

Inai-nai tangissengai banderana karaengna, tangissengai karaengna, lani erangi sallang ri Karebosi ammile sala serenna nijojo, kalani pattannangko salllang bandera sampuloanrua rupanna, talluji bandera lamantang ri sulawesi sallatang, salapang bandera lamae riluar negeri, nia lamange ri butta Cina, Butta Balanda, Butta Jawa, Butta Japang.


Iaji Anjo lammantang ri Sulawesi Sallatang Bnaderana Tau lu’ ka, tau bonea na tau Gowaya. Kajappui karaennu baji-baji punna eroko salama.

Ia mami sallang tau rangranga ri ada, ingaka ri kuntu tojeng, Tau jarreka ri papasangna tau toana la salama, Jai-jaina taggalaki pappasanga, jai-jaina salama, kurang-kurangna tanggala papasanga, kurang-kurang salama. Punna tena antaggalaki Pappasangna tau toana, Linoa ancuru, insaalla Tumbangi bawakaraeng, Tallangi jumpandang ….

begitu lah bunyi dari ramalan Tujua Ri Karebosi. banyak misteri yang tersimpan dan membuat banyak orang penasaran untuk menguak kebenarannya. Tidak ada data yang akurat mengenai siapa-siapa sesungguhnya yang dikebumikan pada 7 makam di Lapangan Karebosi tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai makam ‘Angrong Pandegara’ – suhu para pendekar silat yang juga merupakan murid dari pengikut ajaran tarekat Syekh Yusuf. Mereka disebut-sebut mengembangkan ajaran silat yang dikuatkan dengan ilmu kebatinan. Itulah sebabnya pada masa-masa silam para guru silat di Kota Makassar dan sekitarnya selalu melakukan proses penamatan di sekitar lokasi ke 7 makam yang berjajar utara – selatan di tengah Lapangan Karebosi.

‘’Tahun-tahun 60-an saya masih sering melihat penamatan murid dari banyak perguruan silat dilakukan di dekat 7 makam tersebut. Umumnya jika dilakukan upacara, murid-murid persilatan itu membentangkan kain pelindung di atas makam-makam itu,’’ jelas Putra Jaya, yang pada tahun 60-an bersekolah di pojok timur Lapangan Karebosi yang kini menjadi lokasi Bank Indonesia.

Banyak sumber juga menyebut 7 makam di tengah Lapangan Karebosi sebenarnya bukan makam tetapi awalnya hanya berupa tujuh gundukan tanah tempat makhluk gaib berperangai garang yang sering mengganggu kehidupan manusia pernah menampakkan diri. Ada yang menyebut ketujuh makhluk gaib sebangsa jin itu, masing-masing bernama Kareng Tu Mabellayaa, Karaeng Tu Mabbicarayya, Karaeng Tu Maccinika, Karaeng Bainea, Karaeng Tu Nipalanggayya, Karaeng Tu Apparumbu Pepeka, dan Karaeng Tu Angngerang Bosia.

Bangsa jin yang disebut-sebut telah ratusan tahun memilih tempat mukim di area Lapangan Karebosi lantas melarikan diri setelah masuknya tiga ulama besar Islam asal Sumatera pada abad XVII ke Kota Makassar. Mereka adalah Abd.Makmur Khatib Tunggal yang kemudian di Sulawesi Selatan dengan panggilan Datok ri Bandang, Abdul Jawab Khatib Bungsu (Datuk di Tiro), dan Sulaiman Khatib Sulung (Datok Patimang).

Sejak jaman Belanda Tujuh makam di Lapangan Karebosi akrab disebut sebagai ‘Kubburu Tujua’ oleh orang-orang di Kota Makassar dan sekitarnya. Dari banyak cerita kesurupan yang pernah terjadi di Kota Makassar antara tahun 70 – 80-an, dalam keadaan tak sadar banyak pesakitan sering berteriak dengan menyebut-nyebut nama sebagai ‘Tujua’ dari Karebosi. Sampai tahun 90-an, masih banyak orang selalu datang ke Makam Tujua menabur bunga pada hari-hari tertentu. Termasuk sejumlah orang sering melepas ayam berbulu hitam atau putih di sekitar makam.

Dalam buku Roman Biografi H.Z.B.Palaguna berjudul ‘’Jangan Mati dalam Kemiskinan’ diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, tahun 2002, mantan Gubernur Sulawesi Selatan ini mengungkapkan bahwa ketika ia masih bertugas sebagai seorang prajurit, tahun 1968 di Balikpapan, Kalimantan Timur, dia pernah didatangi seorang lelaki tua yang mengaku dari Karebosi.

Ketika ditanya, lelaki tua itu menyatakan dalam bahasa Makassar: I Nakke minne anak, soroanna Tuanta Salamaka. Riwaktunna tallasa inji, nakke akkumpulu ri Karebosi. Nia kamara anjoeng. Nia erok kupauwangngiko.’’ Artinya: ‘’Saya ini, anak, suruhanya Tuanta Salamaka (sebutan orang Mks terhadap Syekh Yusuf-pen). Ketika masih hidup, saya berkumpul dengan dia di Karebosi. Ada kamar di sana. Ada yang ingin kuberitahukan kepadamu.’’


Lelaki yang kemudian mengaku bernama Umara itu, sebelum meninggalkan kediaman H.Z.B Palaguna, sempat melakukan pengobatan terhadap seorang anaknya yang saat itu lagi sakit, dan seketika mendapat kesembuhan.

Sepeninggal Umara, menurut H.Z.B Palaguna ia mendapat kenaikan pangkat, dan selanjutnya selalu mendapat promosi kedudukan yang lebih tinggi, kariernya berjalan mulus sampai dia menjadi Gubernur Sulsel dua periode (1993 – 2003).

Sementara dari cerita lain mengenai hal ini, Konon menurut cerita, Gowa di abad ke-10 dilanda keadaan kacau balau. Gowa bagai sebuah rimba tak bertuan. Orang-orang saling beradu kekuatan. Setiap orang ingin membuktikan bahwa, dirinyalah yang terhebat. Dan akhirnya yang lemah tersingkir dari kehidupan.

Suatu hari di kala itu, Gowa dihantam hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar. Peristiwa itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Karebosi yang dulu merupakan hamparan luas nan kering lalu digenangi air.

Lantas sekitar ratusan mata rakyat Gowa saat itu tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.

Tak ada yang tahu asal muasal ketujuh orang itu. Namun, rakyat Gowa saat itu percaya kalau mereka adalah tomanurung (semacam dewa dalam mitologi Bugis Makassar) yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi atau Tuan yang Membawa Hujan, pun menginspirasi rakyat Gowa saat itu untuk memberi nama hamparan yang kemudian mereka jadikan sebagai sawah kerajaan itu. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan.

Kurang lebih lima abad kemudian, di bawah kepemimpinan Batara atau Raja Gowa ke-7, tujuh gundukan tanah itu dihormati sebagai tempat berpijak pertama kali tujuh tokoh kharismatik tersebut. Lantas beberapa orang membentuk tujuh gundukan itu menyerupai kuburan dengan cara tiap gundukan diberi batu sebanyak tujuh buah. Cara ini sering dilakukan orang-orang di jaman dahulu untuk menandai sebuah kuburan.

Seiring berjalannya waktu, berziarah ke tujuh kuburan itu dianggap sebagai salah satu warisan tradisi penghormatan masyarakat dan penguasa setempat kepada tujuh tokoh yang diperkirakan turun dari langit tersebut. Pada saat H.M. Daeng Patompo menjabat sebagai Wali Kota Makassar pada 1965-1978, tujuh kuburan itu sempat ditutup. Namun beberapa orang yang percaya akan mitos ketujuh kuburan itu memugarnya kembali.

Mitos yang diyakini sebagian orang itu mengatakan, bahwa ketujuh tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Namun, seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Bahkan keadaan itu telah digambarkan di dalam Lontara dengan kata-kata: jarangji na kongkong sikokko na sitindang, ganca-gancamo cera'. "Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah," 

yang manakah cerita yang benar??? kita kembalikan saja pada masyarakat Makassar. Yang jelas, hal ini jangan sampai membuat kita menyimpang dan beralih pada ajaran yang sesat dan menyesatkan.

referensi: website resmi Kota Makassar (www.makassar.go.id), website kompasiana (www.kompasiana.com), dan referensi terkait lainnya.



0 comments:

Posting Komentar