Ramalan Tujua Ri karebosi
Tujui saribattang salapangi silasukkang ruaya ni tarekapi nanigappa sabba ia ammantang ri tassere-serea ammiliki alanga lolong bonena. Annang burane sere baine, bainea buranne tongi, ia bungko ia tongi ulua, Pagawena karebosi lomoro serea.
Tujui saribattang salapangi silasukkang ruaya ni tarekapi nanigappa sabba ia ammantang ri tassere-serea ammiliki alanga lolong bonena. Annang burane sere baine, bainea buranne tongi, ia bungko ia tongi ulua, Pagawena karebosi lomoro serea.
Nipattangnanganko
sallang kadera tuju batunna ri Karebosi, annang kaboneang, sere kosong, nia
sallang abbara-barrasa, urusangi na cica, iamintu kosong kaderana, saba tunai
na kamase.
Mingka
punna nuassengji karaengnu ribatangkalennu salama makontu. Cilakako punna nu
onjoki Karebosi. Tau upa ammantanga ri Ballana amempo-mempo, lanri naissengna
kalenna, naisseng karaenna. Lana sareko sallang Barisallangna Sitti Fatimah,
sahada simula-mulannapa linoa nubaliangi nanatarima, lanisuroko sallang
assahada assahadako ribunoinjako, tasahadako nibunoinjako.
Lanikutanangko
sallang tau battu kemaeko, kemaeko lassu, kemaeko ammantang, inai mpaparekangko
balla, inai mantang, siapa bentengna, siapai padaseranna ballanu, siapa
sulapana balannu, siapai panyingkuluna ballanu, inai lalang dudu, inai ri
lasatangana, inai pantara dudu, inai imannu, assambayang jako, addalekemaeko
punna sambayangko, inai imannu, paui tojeng-tojeng Imannu.
Lanisuroko
sallang anjojo karaeng, lani suro tongko sallang anjojo banderana karaengnu.
Inai-nai
tangissengai banderana karaengna, tangissengai karaengna, lani erangi sallang
ri Karebosi ammile sala serenna nijojo, kalani pattannangko salllang bandera
sampuloanrua rupanna, talluji bandera lamantang ri sulawesi sallatang, salapang
bandera lamae riluar negeri, nia lamange ri butta Cina, Butta Balanda, Butta
Jawa, Butta Japang.
Iaji
Anjo lammantang ri Sulawesi Sallatang Bnaderana Tau lu’ ka, tau bonea na tau
Gowaya. Kajappui karaennu baji-baji punna eroko salama.
Ia
mami sallang tau rangranga ri ada, ingaka ri kuntu tojeng, Tau jarreka ri
papasangna tau toana la salama, Jai-jaina taggalaki pappasanga, jai-jaina
salama, kurang-kurangna tanggala papasanga, kurang-kurang salama. Punna tena
antaggalaki Pappasangna tau toana, Linoa ancuru, insaalla Tumbangi bawakaraeng,
Tallangi jumpandang ….
begitu
lah bunyi dari ramalan Tujua Ri Karebosi. banyak misteri yang tersimpan dan
membuat banyak orang penasaran untuk menguak kebenarannya. Tidak ada data yang
akurat mengenai siapa-siapa sesungguhnya yang dikebumikan pada 7 makam di
Lapangan Karebosi tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai makam ‘Angrong
Pandegara’ – suhu para pendekar silat yang juga merupakan murid dari pengikut
ajaran tarekat Syekh Yusuf. Mereka disebut-sebut mengembangkan ajaran silat
yang dikuatkan dengan ilmu kebatinan. Itulah sebabnya pada masa-masa silam para
guru silat di Kota Makassar dan sekitarnya selalu melakukan proses penamatan di
sekitar lokasi ke 7 makam yang berjajar utara – selatan di tengah Lapangan
Karebosi.
‘’Tahun-tahun
60-an saya masih sering melihat penamatan murid dari banyak perguruan silat
dilakukan di dekat 7 makam tersebut. Umumnya jika dilakukan upacara,
murid-murid persilatan itu membentangkan kain pelindung di atas makam-makam
itu,’’ jelas Putra Jaya, yang pada tahun 60-an bersekolah di pojok timur
Lapangan Karebosi yang kini menjadi lokasi Bank Indonesia.
Banyak
sumber juga menyebut 7 makam di tengah Lapangan Karebosi sebenarnya bukan makam
tetapi awalnya hanya berupa tujuh gundukan tanah tempat makhluk gaib
berperangai garang yang sering mengganggu kehidupan manusia pernah menampakkan
diri. Ada yang menyebut ketujuh makhluk gaib sebangsa jin itu, masing-masing
bernama Kareng Tu Mabellayaa, Karaeng Tu Mabbicarayya, Karaeng Tu Maccinika,
Karaeng Bainea, Karaeng Tu Nipalanggayya, Karaeng Tu Apparumbu Pepeka, dan
Karaeng Tu Angngerang Bosia.
Bangsa
jin yang disebut-sebut telah ratusan tahun memilih tempat mukim di area
Lapangan Karebosi lantas melarikan diri setelah masuknya tiga ulama besar Islam
asal Sumatera pada abad XVII ke Kota Makassar. Mereka adalah Abd.Makmur Khatib
Tunggal yang kemudian di Sulawesi Selatan dengan panggilan Datok ri Bandang,
Abdul Jawab Khatib Bungsu (Datuk di Tiro), dan Sulaiman Khatib Sulung (Datok
Patimang).
Sejak
jaman Belanda Tujuh makam di Lapangan Karebosi akrab disebut sebagai ‘Kubburu
Tujua’ oleh orang-orang di Kota Makassar dan sekitarnya. Dari banyak cerita
kesurupan yang pernah terjadi di Kota Makassar antara tahun 70 – 80-an, dalam
keadaan tak sadar banyak pesakitan sering berteriak dengan menyebut-nyebut nama
sebagai ‘Tujua’ dari Karebosi. Sampai tahun 90-an, masih banyak orang selalu
datang ke Makam Tujua menabur bunga pada hari-hari tertentu. Termasuk sejumlah
orang sering melepas ayam berbulu hitam atau putih di sekitar makam.
Dalam
buku Roman Biografi H.Z.B.Palaguna berjudul ‘’Jangan Mati dalam Kemiskinan’
diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, tahun 2002, mantan
Gubernur Sulawesi Selatan ini mengungkapkan bahwa ketika ia masih bertugas
sebagai seorang prajurit, tahun 1968 di Balikpapan, Kalimantan Timur, dia
pernah didatangi seorang lelaki tua yang mengaku dari Karebosi.
Ketika
ditanya, lelaki tua itu menyatakan dalam bahasa Makassar: I Nakke minne
anak, soroanna Tuanta Salamaka. Riwaktunna tallasa inji, nakke akkumpulu ri
Karebosi. Nia kamara anjoeng. Nia erok kupauwangngiko.’’ Artinya: ‘’Saya
ini, anak, suruhanya Tuanta Salamaka (sebutan orang Mks terhadap Syekh
Yusuf-pen). Ketika masih hidup, saya berkumpul dengan dia di Karebosi. Ada
kamar di sana. Ada yang ingin kuberitahukan kepadamu.’’
Lelaki
yang kemudian mengaku bernama Umara itu, sebelum meninggalkan kediaman H.Z.B
Palaguna, sempat melakukan pengobatan terhadap seorang anaknya yang saat itu
lagi sakit, dan seketika mendapat kesembuhan.
Sepeninggal
Umara, menurut H.Z.B Palaguna ia mendapat kenaikan pangkat, dan selanjutnya
selalu mendapat promosi kedudukan yang lebih tinggi, kariernya berjalan mulus
sampai dia menjadi Gubernur Sulsel dua periode (1993 – 2003).
Sementara
dari cerita lain mengenai hal ini, Konon menurut cerita, Gowa di abad ke-10
dilanda keadaan kacau balau. Gowa bagai sebuah rimba tak bertuan. Orang-orang
saling beradu kekuatan. Setiap orang ingin membuktikan bahwa, dirinyalah yang
terhebat. Dan akhirnya yang lemah tersingkir dari kehidupan.
Suatu
hari di kala itu, Gowa dihantam hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar.
Peristiwa itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dan di hari ke
delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi
dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Karebosi yang dulu
merupakan hamparan luas nan kering lalu digenangi air.
Lantas
sekitar ratusan mata rakyat Gowa saat itu tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh
gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning
keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa
kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.
Tak
ada yang tahu asal muasal ketujuh orang itu. Namun, rakyat Gowa saat itu
percaya kalau mereka adalah tomanurung (semacam dewa dalam mitologi Bugis
Makassar) yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang
yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi atau Tuan yang Membawa Hujan, pun
menginspirasi rakyat Gowa saat itu untuk memberi nama hamparan yang kemudian
mereka jadikan sebagai sawah kerajaan itu. Jadilah nama Kanrobosi diberikan
pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan
atau bisa juga bermakna kelimpahan.
Kurang
lebih lima abad kemudian, di bawah kepemimpinan Batara atau Raja Gowa ke-7,
tujuh gundukan tanah itu dihormati sebagai tempat berpijak pertama kali tujuh
tokoh kharismatik tersebut. Lantas beberapa orang membentuk tujuh gundukan itu
menyerupai kuburan dengan cara tiap gundukan diberi batu sebanyak tujuh buah.
Cara ini sering dilakukan orang-orang di jaman dahulu untuk menandai sebuah
kuburan.
Seiring
berjalannya waktu, berziarah ke tujuh kuburan itu dianggap sebagai salah satu
warisan tradisi penghormatan masyarakat dan penguasa setempat kepada tujuh
tokoh yang diperkirakan turun dari langit tersebut. Pada saat H.M. Daeng
Patompo menjabat sebagai Wali Kota Makassar pada 1965-1978, tujuh kuburan itu
sempat ditutup. Namun beberapa orang yang percaya akan mitos ketujuh kuburan
itu memugarnya kembali.
Mitos
yang diyakini sebagian orang itu mengatakan, bahwa ketujuh tokoh tersebut akan
turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Namun, seperti kedatangan mereka semula,
akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Bahkan keadaan itu telah
digambarkan di dalam Lontara dengan kata-kata: jarangji na kongkong sikokko na
sitindang, ganca-gancamo cera'. "Hanya kuda (yang merupakan simbol
penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang
hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah,"
yang manakah cerita yang benar??? kita kembalikan saja pada masyarakat Makassar. Yang jelas, hal ini jangan sampai membuat kita menyimpang dan beralih pada ajaran yang sesat dan menyesatkan.
referensi: website resmi Kota Makassar (www.makassar.go.id), website kompasiana (www.kompasiana.com), dan referensi terkait lainnya.
0 comments:
Posting Komentar