pagi ini diawali kelam awan di langit hidupku. suara-suara kepakan sayap ayam sesekali merangsek ke dalam ruang kamarku, begitupun dengan suara kokoknya yang kali ini agak lemah dari biasanya. suara jangkrik yang sedari malam berdendang kini lenyap. sementara tubuhku yang masih malas berpindah dari tempat tidur, pikiranku melayang-layang di cakrawala. mencoba menerka atau lebih tepatnya mengingat kembali apa yang terjadi di alam mimpiku semalam.
semalam, di alam mimpiku, aku bertemu dengan Riani, teman lamaku di alam nyata. ia mengenakan gaun yang indah nan mengilaukan, seindah rekahan senyum yang ia lemparkan di hadapanku. ia mencoba mendekatiku dan membisikkan sesuatu di telinga kananku. tapi, aku tak mendengar dengan jelas apa yang ia katakan. tiba-tiba saja tangannya meraih tanganku lalu mengajakku beranjak. aku ikuti arah langkah Riani. perlahan, kami berada di sebuah taman hijau. kesejukan terasa begitu menyengat. di taman itu Riani bernyanyi riang dan tak pernah berhenti melepaskan senyuman dari bibirnya yang agak pucat. aku tersenyum melihat apa yang dilakukannya.
agak lama Riani melantun merdu, ia duduk di rerumputan bersamaku. ia menatapku, juga dengan senyum yang indah. lalu ku dapati kepalanya menyandar di bahu kananku. tangan ku menggapai lalu membelai poninya dengan halus. kami menikmati itu, di alam mimpi, entah karena apa. namun, keindahan yang tersaji itu berlangsung hanya sesaat. dengan tiba-tiba, taman hijau berubah menjadi kelabu. aku tetap bersama Riani. senyum indahnya pun memudar perlahan-lahan. raut wajah Riani memperlihatkanku sebuah kekhawatiran yang mendalam. entah mengkhawatirkan apa. mulut Riani ingin mengeluarkan nada, mungkin sebuah pesan untukku. belum sempat nada itu keluar, alam mimpi itu membuyar. aku terbangun ke alam nyata.
sinar pagi mulai menerkam tubuh, tapi pikiranku masih berkutat pada mimpi itu. mimpi yang menempatkan kata misteri dalam-dalam di benak. hidup tetap saja harus dijalani. aku harus bergegas dari tempat tidurku. hari ini aku harus mengikuti tes interview di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama.
dengan mandi alakadarnya saja, dandan pun demikian. namun itu tak menjadi masalah. biasami *ehh... pakaian selesai dikenakan di badan. langsung saja ku tancapkan gas motor yang sebelumnya ku parkir di halaman rumah menuju kantor. jarak dari rumah ku menuju kantor tersebut cukup dekat, jadi untung tidak terlambat.
interview ku berjalan lancar. jawaban-jawaban yang ku berikan kepada pihak perusahaan juga cukup meyakinkan. aku langsung diterima bekerja di tempat tersebut. Oh iya, aku melamar sebagai staf ahli keuangan. hanya saja, pihak perusahaan memberikanku saran yang membuatku malu. pihak perusahaan melalui tim rekrutmen menyuruhku membeli parfum dan sisir. katanya, orang-orang keuangan itu harus menata dirinya dengan baik. wadduh, aku tersinggung berat.
dari perusahaan, bayanganku mencoba mengikuti gerak langkah kakiku menuju sebuah tempat yang memperjualkan barang-barang yang harus ku beli hari ini, parfum dan sisir. motorku sampai-sampai tertinggal di parkiran perusahaan baruku, karena efek dari pernyataan tim rekrutmen tadi. parfum dan sisir akhirnya terbeli dari sisa uang yang ada di dompet lusuhku. aku teringat kembali motorku. kembali ke kantor baru.
beranjak kembali dari parkiran kendaraan kantor, suara mesin motorku menyeruak di udara dan terus menggema mengantarkan tubuhku hingga rumah. masih di perjalanan, pikiranku lagi-lagi melayang di angkasa. teringat kembali peristiwa yang menimpaku di alam mimpi. Riani. ya, aku harus menemuinya. tapi untuk apa? aku sama sekali tak punya kepentingan menemuinya. kepentingan menguak misteri mimpiku, iya. aku membathin.
ku putuskan untuk menemui Riani di rumahnya. berharap ia masih tinggal di tempat yang sama sewaktu aku bertemu dengannya terakhir kali. sebenarnya aku berpikir untuk tidak perlu menyambangi rumahnya,aku bisa saja menelponnya. tapi sayangnya aku tak lagi memiliki data teleponnya. hilang di makan ulat, mungkin karena handphone lama yang menyimpan data telepon Riani di dalamnya telah berpindah tangan pada seorang pencuri. kenapa aku memikirkan itu, ahh, ngawur lagi aku ini.
kecepatan motorku menjadi 0 km/jam ketika tepat berada di depan rumah Riani. angka kecepatan motorku diikuti oleh jarum penunjuk jumlah bahan bakar, 0. pasti pas... pas sampai di tempat tujuan, bahan bakarnya juga pas habis. keren. ku ketuk pintu rumah Riani. sekali, dua kali, tiga kali. pintu terbuka. sang penghuni rumah membukakan pintu yang ku ketuk sambil menanyakan keperluanku. wajah itu masih ku ingat jelas. wajah seorang ibu dari anak yang ku tuju. ya, ibu Riani.
"Riani ada, BU?"
"hmmm, kamu Rama, kan? Riani sudah cukup lama mencarimu, nak. cukup lama. ke mana saja dirimu?"
"iya, Bu. sekarang di mana Riani?"
"Riani... Riani... ..."
belum selesai Ibu Riani melanjutkan kata-katanya, adzan maghrib berkumandang dari surau dekat rumah. dengan sedikit berbisik, ibu kembali bersuara.
"lebih baik kau shalat dulu, Nak!" ke Surau dulu saaaannah...!"
"baiklah, Bu."
dengan pikiran yang masih terarah pada Riani, ku langkahkan kedua kaki penuh dosa ini menuju surau. Shalat Maghrib pun diupayakan untuk didirikan. air di keran mulai menjadi bagian basuhan ke tubuhku. dengan tegak menghadapNya dan merendahkan diri dariNya, shalat pun dimulai. Alhamdulillah...
ketika wajah berseriku mulai tampak di teras masjid, dan seketika itu pula berubah menjadi wajah dungu sedang mencari-cari namun tak bertemu jua. sepatu yang sedari tadi menemani langkahku raib. entah kemana. di makan ulat lagi mungkin. wow, keren. sudahlah, tak pantas aku permasalahkan hal ini saat ini. kembali ke rumah Riani, tanpa alas kaki.
kembali ku ketuk pintu rumah Riani. sekali, dua kali, tiga kali. pintu kembali dibuka oleh sang ibu, ibu Riani.
"duduklah sejenak, Nak. Riani akan segera pulang."
"baik, Bu. Terima kasih sebelumnya."
"iya, Nak. oh, iya. kalau bertemu Riani, ku harap kau tak heran dan jangan lari yah!"
aku bingung mendengar perkataan yang baru saja terlontar dari mulut ibu Riani.
"maksud ibu??? mengapa aku harus melakukan hal itu, Bu?"
"lakukan saja apa yang telah ku sarankan tadi, Nak! aku masuk dulu, aku tidak ingin ketinggalan sinetron Putih Abu-abu... (ngeekkkk, red). tunggulah Riani di sini!"
"baiklah, Bu. terima kasih lagi."
setelah ibu Riani masuk untuk menonton, aku terpekur sendiri menunggu kedatangan Riani. aku masih berpikir keras mengapa aku harus melakukan hal sejauh ini hanya demi sebuah mimpi misterius, hanya mimpi. dua puluh lima menit berlalu, akhirnya Riani datang juga. senyumannya terlempar datar. tapi itu cukup. kini, ia tepat berdiri di depanku. ia duduk perlahan di sampingku. tetap dengan senyuman. senyuman yang lagi-lagi datar.
"Rama, kebetulan sekali kau datang. aku telah menunggu lama momen ini."
"maksudmu? aku datang ke sini ingin mengetahui kabarmu. bagaimana kabarmu, Riani?"
"seperti yang kau lihat, biasa saja. Ram, aku ingin bertanya serius padamu? Bolehkah?"
"tentu saja Riani, bertanyalah..."
tiba-tiba saja raut wajah Riani berubah. senyum yang awalnya datar kini tak nampak lagi, hanya sebuah potensi emosi yang melonjak-lonjak, mencoba untuk keluar. matanya mulai memerah dan membesar. lalu, ia memasukkan tangan kananya ke dalam tas yang sedari tadi ia gandeng. mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dua lalu menunjukkannya padaku, tepat dihadapanku.
"Rama, ingatkah kau dengan kertas ini??? ku harap kau mampu mempertanggung jawabkan semuanya."
"apa ini, Riani?"
ku buka perlahan lipatan kertas itu. dan ketika kertas itu terbuka seutuhnya, kadapati kedua mataku melihat judul dari tulisan di kertas tersebut.
interview ku berjalan lancar. jawaban-jawaban yang ku berikan kepada pihak perusahaan juga cukup meyakinkan. aku langsung diterima bekerja di tempat tersebut. Oh iya, aku melamar sebagai staf ahli keuangan. hanya saja, pihak perusahaan memberikanku saran yang membuatku malu. pihak perusahaan melalui tim rekrutmen menyuruhku membeli parfum dan sisir. katanya, orang-orang keuangan itu harus menata dirinya dengan baik. wadduh, aku tersinggung berat.
dari perusahaan, bayanganku mencoba mengikuti gerak langkah kakiku menuju sebuah tempat yang memperjualkan barang-barang yang harus ku beli hari ini, parfum dan sisir. motorku sampai-sampai tertinggal di parkiran perusahaan baruku, karena efek dari pernyataan tim rekrutmen tadi. parfum dan sisir akhirnya terbeli dari sisa uang yang ada di dompet lusuhku. aku teringat kembali motorku. kembali ke kantor baru.
beranjak kembali dari parkiran kendaraan kantor, suara mesin motorku menyeruak di udara dan terus menggema mengantarkan tubuhku hingga rumah. masih di perjalanan, pikiranku lagi-lagi melayang di angkasa. teringat kembali peristiwa yang menimpaku di alam mimpi. Riani. ya, aku harus menemuinya. tapi untuk apa? aku sama sekali tak punya kepentingan menemuinya. kepentingan menguak misteri mimpiku, iya. aku membathin.
ku putuskan untuk menemui Riani di rumahnya. berharap ia masih tinggal di tempat yang sama sewaktu aku bertemu dengannya terakhir kali. sebenarnya aku berpikir untuk tidak perlu menyambangi rumahnya,aku bisa saja menelponnya. tapi sayangnya aku tak lagi memiliki data teleponnya. hilang di makan ulat, mungkin karena handphone lama yang menyimpan data telepon Riani di dalamnya telah berpindah tangan pada seorang pencuri. kenapa aku memikirkan itu, ahh, ngawur lagi aku ini.
kecepatan motorku menjadi 0 km/jam ketika tepat berada di depan rumah Riani. angka kecepatan motorku diikuti oleh jarum penunjuk jumlah bahan bakar, 0. pasti pas... pas sampai di tempat tujuan, bahan bakarnya juga pas habis. keren. ku ketuk pintu rumah Riani. sekali, dua kali, tiga kali. pintu terbuka. sang penghuni rumah membukakan pintu yang ku ketuk sambil menanyakan keperluanku. wajah itu masih ku ingat jelas. wajah seorang ibu dari anak yang ku tuju. ya, ibu Riani.
"Riani ada, BU?"
"hmmm, kamu Rama, kan? Riani sudah cukup lama mencarimu, nak. cukup lama. ke mana saja dirimu?"
"iya, Bu. sekarang di mana Riani?"
"Riani... Riani... ..."
belum selesai Ibu Riani melanjutkan kata-katanya, adzan maghrib berkumandang dari surau dekat rumah. dengan sedikit berbisik, ibu kembali bersuara.
"lebih baik kau shalat dulu, Nak!" ke Surau dulu saaaannah...!"
"baiklah, Bu."
dengan pikiran yang masih terarah pada Riani, ku langkahkan kedua kaki penuh dosa ini menuju surau. Shalat Maghrib pun diupayakan untuk didirikan. air di keran mulai menjadi bagian basuhan ke tubuhku. dengan tegak menghadapNya dan merendahkan diri dariNya, shalat pun dimulai. Alhamdulillah...
ketika wajah berseriku mulai tampak di teras masjid, dan seketika itu pula berubah menjadi wajah dungu sedang mencari-cari namun tak bertemu jua. sepatu yang sedari tadi menemani langkahku raib. entah kemana. di makan ulat lagi mungkin. wow, keren. sudahlah, tak pantas aku permasalahkan hal ini saat ini. kembali ke rumah Riani, tanpa alas kaki.
kembali ku ketuk pintu rumah Riani. sekali, dua kali, tiga kali. pintu kembali dibuka oleh sang ibu, ibu Riani.
"duduklah sejenak, Nak. Riani akan segera pulang."
"baik, Bu. Terima kasih sebelumnya."
"iya, Nak. oh, iya. kalau bertemu Riani, ku harap kau tak heran dan jangan lari yah!"
aku bingung mendengar perkataan yang baru saja terlontar dari mulut ibu Riani.
"maksud ibu??? mengapa aku harus melakukan hal itu, Bu?"
"lakukan saja apa yang telah ku sarankan tadi, Nak! aku masuk dulu, aku tidak ingin ketinggalan sinetron Putih Abu-abu... (ngeekkkk, red). tunggulah Riani di sini!"
"baiklah, Bu. terima kasih lagi."
setelah ibu Riani masuk untuk menonton, aku terpekur sendiri menunggu kedatangan Riani. aku masih berpikir keras mengapa aku harus melakukan hal sejauh ini hanya demi sebuah mimpi misterius, hanya mimpi. dua puluh lima menit berlalu, akhirnya Riani datang juga. senyumannya terlempar datar. tapi itu cukup. kini, ia tepat berdiri di depanku. ia duduk perlahan di sampingku. tetap dengan senyuman. senyuman yang lagi-lagi datar.
"Rama, kebetulan sekali kau datang. aku telah menunggu lama momen ini."
"maksudmu? aku datang ke sini ingin mengetahui kabarmu. bagaimana kabarmu, Riani?"
"seperti yang kau lihat, biasa saja. Ram, aku ingin bertanya serius padamu? Bolehkah?"
"tentu saja Riani, bertanyalah..."
tiba-tiba saja raut wajah Riani berubah. senyum yang awalnya datar kini tak nampak lagi, hanya sebuah potensi emosi yang melonjak-lonjak, mencoba untuk keluar. matanya mulai memerah dan membesar. lalu, ia memasukkan tangan kananya ke dalam tas yang sedari tadi ia gandeng. mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dua lalu menunjukkannya padaku, tepat dihadapanku.
"Rama, ingatkah kau dengan kertas ini??? ku harap kau mampu mempertanggung jawabkan semuanya."
"apa ini, Riani?"
ku buka perlahan lipatan kertas itu. dan ketika kertas itu terbuka seutuhnya, kadapati kedua mataku melihat judul dari tulisan di kertas tersebut.
DAFTAR PINJAMAN ALIAS HUTANG RAMA UNTUK PEMBELIAN BUKU PELAJARAN
SELAMA SETAHUN
kedua mataku lebih terkaget lagi melihat nominal hutang yang telah aku goreskan. nilainya sama dengan tiga bulan gajiku di perusahaan baru tempatku bekerja. hammmmaaeee... dulu sewaktu sekolah, aku memang selalu berhutang pada Riani karena ku anggap Riani orang yang baik, tidak sombong, dan rajin menabung. padahal aku juga telah diberikan uang oleh orang tuaku untuk pembelian buku pelajaran. itu dulu sekali, hingga aku lupa bahwa aku mempunyai banyak hutang pada Riani.
"sudah lama sekali ini kusimpan, Rama. aku sangat merindukan kau dapat melunasinya. jika tidak, kakimu tak akan melangkah sampai di rumahmu."
Riani mengancam. tak biasanya ia seperti itu. itu karena ulahku memang. ternyata, inilah yang sebenarnya ingin dikatakan oleh ibu Riani tadi sehingga ia menyarankanku untuk bertanggungjawab. aku terdesak. ternyata mimpi yang misterius itu membawaku pada kenyataan bahwa aku harus melunasi hutangku pada Riani. pantas saja, di akhir mimpiku raut wajah Riani berubah. nasibku hari ini memang harus seperti ini.
THE END
catatan : cerita ini hanyalah fiktif belaka. adapun kesamaan tokoh, tempat, waktu, dan faktor pendukung lainnya adalah kesengajaan atas imajinasi penulis semata. hehehehe... pisss
0 comments:
Posting Komentar