BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan
dunia bisnis yang semakin ketat dewasa ini telah menciptakan suatu persaingan
yang semakin tajam antar perusahaan. Persaingan bagi kelangsungan hidup dan
perkembangan menjadi perusahaan besar dalam dunia usaha menjadi tantangan
perusahaan dalam operasinya. Dalam menghadapi persaingan tersebut, perusahaan
dihadapkan pada tuntutan agar mempunyai keunggulan bersaing baik itu dalam
teknologi, produk yang dihasilkan maupun sumber daya manusianya. Namun, untuk
memiliki keunggulan itu, perusahaan juga memerlukan investasi besar untuk
mewujudkannya dengan kebutuhan dana yang semakin besar pula. Untuk mengatasi
ketersediaan dana itu, perusahaan harus mencari sumber-sumber permodalan yang
dapat menyediakan dana dalam jumlah besar untuk membiayai investasi baru yang
dilakukan perusahaan yang juga semakin besar.
Struktur
modal merupakan suatu komposisi sumber dana jangka panjang yang umumnya terdiri
dari utang jangka panjang, saham biasa, dan saldo laba. Penggunaan sumber dana
tersebut pada operasi perusahaan menimbulkan biaya yang disebut biaya modal.
Biaya modal mempunyai arti penting bagi perusahaan dalam pengambilan keputusan
atas struktur modalnya. Perimbangan dalam modal jangka panjang yang optimal
dapat menentukan sumber-sumber modal yang selanjutnya akan membentuk struktur
modal yang optimal, yaitu struktur modal yang memaksimumkan nilai perusahaan
atau harga saham, dan meminimumkan biaya modal. Memaksimalkan nilai perusahaan
merupakan salah satu tujuan manajemen. Pencapaian tujuan tersebut dapat
ditunjukkan dengan tingginya harga saham perusahaan dalam perdagangan sahamnya
di pasar modal.
Pasar
modal selain sebagai sumber pembelanjaan dengan biaya murah juga sebagai media
investasi bagi para investor, juga dapat berperan sebagai alat pemantau kinerja
perusahaan yang dapat ditunjukkan dengan harga sahamnya. Setiap perubahan yang
terjadi di perusahaan dapat secara langsung mempengaruhi persepsi pasar
terhadap kondisi perusahaan saat itu dan lebih jauh juga mempengaruhi prospek
usaha dengan prestasi yang akan dicapai oleh perusahaan untuk masa mendatang.
Persepsi pasar itu dapat menentukan naik turunnya harga saham perusahaan itu
sendiri. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penulis ingin mengetahui
bagaimana pengaruh penentuan struktur modal yang optimal dapat meminimumkan
biaya modal sehingga nilai perusahaan meningkat. Dengan adanya nilai perusahaan
yang baik, maka para investor akan menaruh kepercayaan untuk menanamkan
modalnya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. 1. Bagaimana manajemen menentukan
komposisi modal jangka panjang dalam struktur modal perusahaan ?
2. 2. Bagaimana kaitan antara struktur
modal dengan biaya modal dan nilai perusahaan ?
3. 3. Bagaimana optimalisasi struktur
modal yang akan dapat meningkatkan nilai perusahaan ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pada
umumnya penelitian mengenai struktur modal difokuskan pada proporsi antara
hutang (debt) dengan modal (equity) yang dilihat pada sisi kanan dari neraca
perusahaan. Tujuan dari manajemen struktur modal ini adalah untuk memadukan
sumber dana permanen yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk memaksimalkan
nilai perusahaan. Setiap perusahaan berusaha untuk mencapai struktur modal yang
optimal supaya dapat memaksimalkan nilai perusahaan tersebut. Menurut Vale
(1989), “Struktur modal menggambarkan kombinasi pembiayaan jangka panjang yang
digunakan untuk memperoleh aset suatu bisnis” (p.51). Sasaran pokok
bagi manajer keuangan adalah mencari struktur modal yang optimal. Sejalan
dengan pengertian di atas, menurut Ross; Westerfield; dan Jordan (2003),
”Struktur modal adalah kombinasi yang spesifik antara hutang jangka panjang dan
ekuitas yang digunakan perusahaan dalam membiayai perusahaannya” (p.567).
Kombinasi tersebut akan mempengaruhi resiko dan nilai dari perusahaan. Brigham
dan Houston (2001) mengatakan bahwa Struktur modal yang optimal harus berada
pada keseimbangan antara risiko dan pengembalian yang memaksimumkan harga
saham(p.12-13).
Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Struktur Modal
Menurut Rajan dan Zingales (1995), terdapat empat variabel yang mempengaruhi leverage. Variabel-variabel tersebut adalah market-to-book ratio, tangibility, profitability, dan firm size. Mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Baker dan Wurgler, fokus pada penelitian ini ada pada market-to-book ratio, sebagai proxy dari equity market timing. Namun penelitian ini tetap memasukkan ketiga variabel lainnya, yaitu tangibility, profitability, dan firm size sebagai variabel kendali. Market-to-book ratio merupakan proxy dari kesempatan investasi dan persepsi dari mispricing (overvalued atau undervalued).
Menurut Rajan dan Zingales (1995), terdapat empat variabel yang mempengaruhi leverage. Variabel-variabel tersebut adalah market-to-book ratio, tangibility, profitability, dan firm size. Mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Baker dan Wurgler, fokus pada penelitian ini ada pada market-to-book ratio, sebagai proxy dari equity market timing. Namun penelitian ini tetap memasukkan ketiga variabel lainnya, yaitu tangibility, profitability, dan firm size sebagai variabel kendali. Market-to-book ratio merupakan proxy dari kesempatan investasi dan persepsi dari mispricing (overvalued atau undervalued).
Market-to-book
ratio ini juga mengindikasikan tingkat kemakmuran suatu perusahaan dengan
perbandingannya adalah jumlah modal yang diinvestasikan ke dalam perusahaan
oleh para pemegang saham di masa sekarang dan masa lalu. Market-to-book ratio
yang tinggi juga mengindikasikan adanya peningkatan pembiayaan eksternal
perusahaan dan sebaliknya. Market-to-book ratio didefinisikan sebagai market
value of assets dibagi dengan book value of assets.
Tangibility.
Berdasarkan perspektif trade-off theory dan agency theory,
perusahaan-perusahaan yang mempunyai fixed assets dalam jumlah yang banyak,
akan cenderung mempunyai jumlah hutang lebih banyak daripada
perusahaan-perusahaan yang mempunyai fixed assets dalam jumlah yang sedikit
(Smart,Megginson, dan Gitman, 2004). Hal ini disebakan karena fixed assets dapat
digunakan sebagai jaminan apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan
sehingga perusahaan akan mencari pinjaman dari luar. Fixed assets ini memiliki
bentuk fisik dan mudah dinilai oleh pemberi hutang, karena itu fixed assets ini
lebih mudah dijaminkan daripada intangible assets. Tangibility didefinisikan
sebagai tanah, properti dan peralatan.
Profitability.
Frank dan Goyal (2004) mencatat bahwa perusahaan-perusahaan dengan tingkat
profitabilitas yang tinggi, cenderung mempunyai tingkat hutang yang rendah. Hal
ini dapat dijelaskan melalui pecking order theory yang menyatakan bahwa
perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi mempunyai
sumber dana internal yang melimpah. Profitability didefinisikan sebagai earning
before interest and taxes (EBIT). EBIT ini juga bisa dianggap sama sebagai
operating profit yang dapat mengukur kinerja dari aktivitas komersial
perusahaan tanpa memperhatikan pembiayaan (Solomon dan
Pringle, 1977).
Pringle, 1977).
Firm
size mengindikasikan bahwa semakin besar suatu perusahaan semakin besar pula
tingkat hutangnya (Smart, Megginson, dan Gitman, 2004). Hubungan yang positif
antara firm size dan leverage ini dikarenakan perusahaan besar mempunyai
tingkat kredibilitas yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil sehingga perusahaan
besar mempunyai akses yang lebih mudah untuk mendapatkan pinjaman. Perusahaan
besar ini pada umumnya lebih dikenal oleh pihak luar seperti investor dan
analis, sehingga informasi yang diterima pihak luar simetris dengan manajer
perusahaan. Perusahaan yang kecil atau masih muda
kemungkinan memiliki kas inflows yang rendah dalam menghadapi peluang investasi yang menguntungkan, tidak mempunyai akses untuk masuk pada pasar modal regular, sehingga pada saat yang bersamaan ini perusahaan kecil enggan untuk mengajak pihak luar (outsiders) sebagai partner atau rekan kerja (Solomon dan Pringle, 1977). Firm size didefinisikan sebagai logaritma dari net sales.
kemungkinan memiliki kas inflows yang rendah dalam menghadapi peluang investasi yang menguntungkan, tidak mempunyai akses untuk masuk pada pasar modal regular, sehingga pada saat yang bersamaan ini perusahaan kecil enggan untuk mengajak pihak luar (outsiders) sebagai partner atau rekan kerja (Solomon dan Pringle, 1977). Firm size didefinisikan sebagai logaritma dari net sales.
Variabel
terakhir yang dimasukkan adalah lagged leverage. Lagged leverage dimasukkan
karena apabila lagged leverage tidak dikontrol akan membuat efek dari
variable-variabel lainnya tidak tampak. Nilai leverage dibatasi antara nol dan
satu. Apabila leverage mendekati salah satu dari batasan ini (mendekati nol
atau mendekati satu) maka perubahan leverage akan terjadi satu arah tanpa
dipengaruhi oleh nilai dari variabel-variabel lainnya.
Pengertian
Modal
lainnya adalah hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik perusahaan dalam pos
modal (modal saham), keuntungan atau laba yang ditahan atau kelebihan aktiva
yang dimiliki perusahaan terhadap seluruh utangnya (Munawir,2001). Modal pada
dasarnya terbagi atas dua bagian yaitu modal Aktif (Debet) dan modal Pasif
(Kredit).
Sementara Struktur Modal
adalah perimbangan atau perbandingan antara modal asing dan modal sendiri.
Modal asing diartikan dalam hal ini adalah hutang baik jangka panjang maupun
dalam jangka pendek. Sedangkan modal sendiri bisa terbagi atas laba ditahan dan
bisa juga dengan penyertaan kepemilikan perusahaan.
Struktur Modal merupakan
masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan.
Untuk mengukur Struktur Modal tersebut maka dapat digunakan beberapa
Teori yang menjelaskan Struktur Modal dalam suatu Perusahaan.
Teori struktur modal
1.
Modigliani-Miller
(MM) Theory
Teori
MM tanpa pajak
Teori struktur modal modern
yang pertama adalah teori Modigliani dan Miller (teori MM). Mereka berpendapat
bahwa struktur
modal tidak relevan atau tidak mempengaruhi nilai perusahaan.
MM mengajukan beberapa asumsi untuk membangun teori mereka (Brigham dan
Houston, 2001, p.31) yaitu:
a. tidak terdapat agency
cost.
b. tidak ada pajak.
d. Investor mempunyai
informasi yang sama seperti manajemen mengenai prospek perusahaan di masa depan
e. Tidak ada biaya kebangkrutan
f. Earning Before Interest
and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan dari hutang.
g. Para investor adalah
price-takers.
h. Jika terjadi kebangkrutan
maka aset dapat dijual pada harga pasar (market value).
Dengan asumsi-asumsi
tersebut, MM mengajukan dua preposisi yang dikenal sebagai preposisi MM tanpa
pajak.
Preposisi I: nilai dari
perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak
berhutang. Implikasi dari preposisi I ini adalah struktur modal dari suatu
perusahaan tidak relevan, perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai
perusahaan dan weighted average cost of capital (WACC) perusahaan akan tetap
sama tidak dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan memadukan hutang dan modal
untuk membiayai perusahaan
Preposisi II: biaya modal
saham akan meningkat apabila perusahaan melakukan atau mencari pinjaman dari
pihak luar. Risk of the equity bergantung pada resiko dari operasional
perusahaan (business risk) dan tingkat hutang perusahaan (financial risk).
Brealey, Myers dan Marcus
(1999) menyimpulkan dari teori MM tanpa pajak ini yaitu tidak membedakan antara
perusahaan berhutang atau pemegang saham berhutang pada saat kondisi tanpa
pajak dan pasar yang sempurna. Nilai perusahaan tidak bergantung pada struktur
modalnya. Dengan kata lain, manajer keuangan tidak dapat meningkatkan nilai
perusahaan dengan merubah proporsi debt dan equity yang digunakan untuk
membiayai perusahaan.
Teori
MM dengan pajak.
Teori MM tanpa pajak
dianggap tidak realistis dan kemudian MM memasukkan faktor pajak ke dalam
teorinya. Pajak dibayarkan kepada pemerintah, yang berarti merupakan aliran kas
keluar. Hutang bisa digunakan untuk menghemat pajak, karena bunga bisa dipakai
sebagai pengurang pajak.
Dalam teori MM dengan pajak
ini terdapat dua preposisi yaitu:
Preposisi I: nilai dari
perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak
berhutang ditambah dengan penghematan pajak karena bunga hutang. Implikasi dari
preposisi I ini adalah pembiayaan dengan hutang sangat menguntungkan dan MM
menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan adalah seratus persen
hutang.
Preposisi II: biaya modal
saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya hutang, tetapi penghematan
pajak akan lebih besar dibandingkan dengan penurunan nilai karena kenaikan
biaya modal saham. Implikasi dari preposisi II ini adalah penggunaan hutang
yang semakin banyak akan meningkatkan biaya modal saham. Menggunakan hutang
yang lebih banyak, berarti menggunakan modal yang lebih murah (biaya modal
hutang lebih kecil dibandingkan dengan biaya modal saham), sehingga akan
menurunkan biaya modal rata-rata tertimbangnya (meski biaya modal saham
meningkat). Teori MM tersebut sangat kontroversial. Implikasi teori tersebut
adalah perusahaan sebaiknya menggunakan hutang sebanyak-banyaknya. Dalam
praktiknya, tidak ada perusahaan yang mempunyai hutang sebesar itu, karena
semakin tinggi tingkat hutang suatu perusahaan, akan semakin tinggi juga
kemungkinan kebangkrutannya. Inilah yang melatarbelakangi teori MM mengatakan agar
perusahaan menggunakan hutang sebanyak-banyaknya, karena MM mengabaikan biaya
kebangkrutan.
2.
Trade-off Theory
Menurut
trade-off teory yang diungkapkan oleh Myers (2001), “Perusahaan akan berhutang
sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields)
dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress)”
(p.81). Biaya kesulitan keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan
(bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang
meningkat akibat turunnya kredibilitas suatu perusahaan.
Trade-off
theory dalam menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor
antara lain pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesulitan keuangan
(financial distress) tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi pasar dan
symmetric information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Tingkat
hutang yang optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai
jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan (costs of financial
distress). Trade-off theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir
dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan
dalam penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas
yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan
rasio hutangnya, sehingga tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak. Dalam
kenyataannya jarang manajer keuangan yang berpikir demikian. Donaldson (1961)
melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika
Serikat. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan
tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung rasio hutangnya rendah. Hal ini
berlawanan dengan pendapat trade-off theory. Trade-off theory tidak dapat
menjelaskan korelasi negatif antara tingkat profitabilitas dan rasio hutang.
3.
Pecking Order Theory
Menurut
Myers (1984), pecking order theory menyatakan bahwa ”Perusahaan dengan tingkat
profitabilitas yang tinggi justru tingkat hutangnya rendah, dikarenakan
perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang
berlimpah.” Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur modal yang
optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hierarki)
dalam penggunaan dana. Menurut pecking order theory dikutip oleh Smart,
Megginson, dan Gitman (2004, p.458-459), terdapat skenario urutan (hierarki)
dalam memilih sumber pendanaan, yaitu :
a.
perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau
pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut
diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional
perusahaan.
b.
Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai
dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah risikonya,
turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi
konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.
c.
Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan
jumlah pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya
perusahaan tersebut untung atau rugi.
d.
Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan deviden
yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan investasi,
maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia.
Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal. Pecking order
theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak
memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh
kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa
perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai
tingkat hutang yang kecil.
Dalam
kenyataannya, terdapat perusahaan-perusahaan yang dalam menggunakan dana untuk
kebutuhan investasinya tidak sesuai seperti skenario urutan (hierarki) yang
disebutkan dalam pecking order theory. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan
Hamid (1992) dan Singh (1995) menyatakan bahwa “Perusahaan-perusahaan di negara
berkembang lebih memilih untuk menerbitkan ekuitas daripada berhutang dalam
membiayai perusahaannya.” Hal ini berlawanan dengan pecking order theory yang
menyatakan bahwa perusahaan akan memilih untuk menerbitkan hutang terlebih
dahulu daripada menerbitkan saham pada saat membutuhkan pendanaan eksternal.
4.
Equity Market Timing
Teori
yang diungkapkan oleh Baker dan Wurgler (2002) ini mengemukakan bahwa
“Perusahaan-perusahaan akan menerbitkan equity pada saat market value tinggi
dan akan membeli kembali equity pada saat market value rendah” (p.1) Praktik
inilah yang kemudian disebut sebagai equity market timing.
Tujuan
dari melakukan equity market timing ini adalah untuk mengeksploitasi fluktuasi
sementara yang terjadi pada cost of equity terhadap cost of other forms of
capital.
Menurut
Baker dan Wurgler (2002), ”Struktur modal adalah hasil kumulatif dari usaha
melakukan equity market timing di masa lalu” (p.3). Baker dan Wurgler menemukan
bahwa perusahaan dengan tingkat hutang rendah adalah perusahaan yang
menerbitkan equity pada saat market value tinggi dan perusahaan dengan tingkat
hutang tinggi adalah perusahaan yang menerbitkan equity pada saat market value
rendah. Baker dan Wurgler menggunakan market-to-book ratio, yang umumnya
digunakan sebagai proxy untuk mengukur kesempatan investasi, namun dalam
teorinya market-to-book ratio juga digunakan untuk melihat apakah nilai suatu
ekuitas itu overvalued atau undervalued. Baker dan Wurgler membangun suatu
model variabel yaitu external finance weighted-average market-to-book ratio.
Variabel ini adalah rata-rata tertimbang dari market-to-book ratio suatu
perusahaan di masa lampau. Variabel ini digunakan oleh Baker dan Wurgler untuk
melihat usaha dari suatu perusahaan dalam melakukan equity market timing.
Ada
dua versi dari equity market timing yang mengikuti hasil penelitian Baker dan
Wurgler. Yang pertama adalah versi dinamis dari Myers dan Majluf (1984)
mengenai informasi asimetris yang mengasumsikan rasional manajer dan investor.
Versi yang kedua dari equity market timing melibatkan para investor atau
manajer yang tidak rasional dan persepsi dari mispricing. Para manajer akan
menerbitkan equity saat mereka yakin bahwa cost of equity rendah dan membeli
kembali equity saat cost of equity tinggi. Market-to-book diketahui secara umum
berkorelasi negatif dengan future equity returns, dan nilai ekstrem dari
market-to-book dikaitkan dengan ekpektasi-ekspektasi yang ekstrem dari
investor, sesuai dengan penelitian dari La Porta (1996), La Porta et al.
(1997), Frankel dan Lee (1998), dan Schleifer (2000). Apabila manajer mencoba
untuk mengeksploitasi terlalu jauh (ekstrem) ekspektasi-ekspektasi dari
investor, net equity issues akan berkorelasi positif dengan market-to-book.
Apabila tidak terdapat struktur modal yang optimal, manajer tidak perlu
mengganti keputusan-keputusan pendanaannya pada saat perusahaan telah dinilai
dengan benar dan cost of equity terlihat normal, hal ini menunggu
fluktuasi-fluktuasi sementara yang terjadi pada market-to-book mempunyai efek
yang tetap pada leverage.
·
Faktor-faktor yang mempengaruhi Struktur
Modal
Salah
satu fungsi manajer keuangan adalah memenuhi kebutuhan dana. Di dalam melakukan
tugas tersebut manajer keuangan dihadapkan adanya suatu variasi dalam
pembelanjaan, dalam arti kadang-kadang perusahaan lebih baik menggunakan dana
yang bersumber dari hutang (debt), tetapi terkadang perusahaan lebih baik jika
menggunakan dana yang berasal dari modal sendiri (equity).
Oleh
karena itu manajer keuangan di dalam operasinya perlu berusaha untuk memenuhi
suatu sasaran tertentu mengenai perimbangan antara besarnya hutang dan jumlah
modal sendiri yang tercermin dalam struktur modal perusahaan. Struktur modal
dalam penelitian ini diukur dari Debt to Equity ratio (DER) dikarenakan DER
mencerminkan besarnya proporsi antara total debt (total hutang) dan total
shareholder’s equity (total modal sendiri). Total debt merupakan total
liabilities (baik utang jangka pendek maupun jangka panjang), sedangkan total
shareholders’equity merupakan total modal sendiri (total modal saham yang
disetor dan laba yang ditahan) yang dimiliki perusahaan. Rasio ini menunjukkan
komposisi dari total hutang terhadap total ekuitas. Semakin tinggi DER menunjukkan
komposisi total hutang semakin besar dibanding dengan total modal sendiri,
sehingga berdampak semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar
(kreditur). (Ang, 1997).
Dalam
menentukan perimbangan antara besarnya utang dan jumlah modal sendiri yang
tercermin pada struktur modal perusahaan, maka perlu memperhitungkan adanya
berbagai faktor yang mempengaruhi debt to equity ratio (DER). Faktor-faktor
yang mempengaruhi DER adalah sebagai berikut:
1.
Operating Leverage
Operating
leverage atau leverage operasi adalah penggunaan aktiva atau operasi perusahaan
yang disertai dengan biaya tetap. Leverage operasi yang menguntungkan kalau
pendapatan setelah dikurangi biaya variable (Contribution to Fixed cost) lebih
besar dari biaya tetapnya. Oleh sebab itu operating leverage adalah seberapa
jauh perubahan tertentu dari volume penjualan berpengaruh terhadap laba operasi
bersih.
Dalam
suatu perusahaan tingkat operating leverage pada suatu tingkat hasil akan
ditunjukan oleh perubahan dalam volume penjualn yang mengakibatkanadanya
perubahan yang tidak proporsional dalam laba atau rugi operasi. Bambang riyanto
(1997). Jika hal- hal lain sama , perusahaan dengan leverage operasi yang lebih
kecil lebih mampu untuk memperbesar leverage keuangan karena interaksi leverage
perusahaan dan keuanganlah yang mempengaruhi penurunan penjualan terhadap laba
operasi dan arus khas bersih secara keseluruhan ( Weston and Brigham,1994)
.Untuk mengukur pengaruh perubahan volume penjualan terhadap profitabilitas
maka perlu dihitung tingkat leverage operasi ( Degree Of Operating Leverage ,
DOL). Weston and Copeland (1994). Tingkat leverage operasi didefinisikan
sebagai rasio antara rasio persentase perubahan laba bersih sebelum bunga dan
pajak (EBIT) dengan prosentase perubahan Volume penjualan . Operating leverage dinyatakan
signifikan terhadap DER oleh Bambang Riyanto (1997) .
2.
Likuiditas
Rasio
likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
didalam membayar hutang jangka pendek yang telah jatuh tempo. Perusahaan yang
dapat segera mengembalikan utang-utangnya akan mendapat kepercayaan dari
kreditur untuk menerbitkan utang dalam jumlah yang besar. Bambang Riyanto
(1995) menyatakan bahwa kebutuhan dana untuk aktiva lancar pada prinsipnya
dibiayai dengan kredit jangka pendek. Sehingga semakin likuid suatu perusahaan,
maka semakin tinggi penggunaan hutangnya. Ozkan (2001) menemukan bahwa ada
hubungan positif antara likuiditas perusahaan dengan leverage. Dalam penelitian
Ozkan, leverage mewakili struktur modal perusahaan. Sehingga dalam penelitian
ini, likuiditas mempunyai pengaruh positif terhadap struktur modal.
3.
Struktur Aktiva
Struktur
aktiva menggambarkan sebagian jumlah aset yang dapat dijadikan jaminan
(collateral value of assets). Brigham and Gapenski (1996) menyatakan bahwa
secara umum perusahaan yang memiliki jaminan terhadap hutang akan lebih mudah
mendapatkan hutang daripada perusahaan yang tidak memiliki jaminan. Teori
tersebut juga konsisten dengan Lukas Setia Atmaja (1994) yang menyatakan bahwa
perusahaan yang memiliki aktiva yang dapat digunakan sebagai agunan hutang
cenderung menggunakan hutang yang relatif besar. Menurut Bambang Riyanto (1995)
kebanyakan perusahaan industri dimana sebagian besar daripada modalnya tertanam
dalam aktiva tetap, akan mengutamakan pemenuhan modalnya dari modal yang
permanen, yaitu modal sendiri, sedangkan hutang sifatnya sebagai pelengkap. Laili
Hidayat (2001) mengemukakan bahwa struktur aktiva berpengaruh positip terhadap
struktur modal. Penelitian dari Sekar Mayang Sari (2001) serta Bhaduri (2002)
mendukung penelitian Laili tersebut, di mana struktur aktiva berpengaruh
positip terhadap struktur modal.
Sehingga
dalam penelitian ini, struktur aktiva mempunyai pengaruh positif terhadap
struktur modal.
4.
Pertumbuhan Perusahaan
Suatu
perusahaan yang berada dalam indutri yang mempunyai laju pertumbuhan yang
tinggi harus menyediakan modal yang cukup untuk membelanjai perusahaan.
Perusahaan yang bertumbuh pesat cenderung lebih banyak menggunakan utang
daripada perusahaan yang bertumbuh secara lambat (Weston and Brigham, 1994). Ozkan
(2001) juga menemukan bahwa jumlah utang yang dikeluarkan oleh perusahaan
berbanding terbalik dengan pertumbuhan. Hasil penelitian tersebut juga
konsisten dengan hasil penelitian oleh Bhaduri (2002) serta Brailsford (2002). Sehingga
dalam penelitian ini, pertumbuhan perusahaan mempunyai pengaruh negatif
terhadap struktur modal.
5.
Price Earning Ratio
Price
Earning Ratio (PER) merupakan perbandingan harga suatu saham (market price)
dengan earning pe share (EPS) dari saham yang bersangkutan. Kegunaan dari PER
adalah melihat bagaimana pasar menghargai kinerja saham suatu perusahaan
terhadap kinerja perusahaan yang tercermin oleh EPS-nya. Semakin besar PER
suatu saham maka menyatakan saham tersebut semakin mahal terhadap pendapatan
bersih per sahamnya. Ang (1997) menyatakan bahwa peningkatan PER yang dinilai
oleh investor menunjukkan kinerja yang semakin baik, juga berdampak semakin menarik
perhatian calon kreditor. Semakin meningkat perhatian kreditor terhadap
perusahaan, maka sangat dimungkinkan jumlah utang akan semakin meningkat.
Peningkatan jumlah utang yang relatif lebih besar dari modal sendiri akan
meningkatkan PER. Pernyataan Ang tersebut konsisten dengan penelitian oleh
Fitrijanti dan Hartono (2002), bahwa PER mempunyai pengaruh positif terhadap
struktur modal. Sehingga dalam penelitian ini, Price Earning Ratio (PER)
mempunyai pengaruh positif terhadap struktur modal.
6.
Profitabilitas
Brigham
and Houston (2001) mengatakan bahwa perusahaan dengan tingkat pengembalian yang
tinggi atas investasi akan menggunakan utang relatif kecil. Tingkat
pengembalian yang tinggi memungkinkan untuk membiayai sebagaian besar kebutuhan
pendanaan dengan dana yang dihasilkan secara internal. Perusahaan yang
mempunyai profit tinggi, akan menggunakan hutang dalam jumlah rendah, dan
sebaliknya. Fenomena ini didukung oleh hasil penelitian Titman dan Wessels
(1988 yang menggunakan debt ratio untuk menggambarkan struktur modal, bahwa ada
hubungan negatif antara profitability dengan debt ratio. Penelitian di atas
didukung pula oleh penelitian dari Mutamimah (2003) terhadap
perusahaan-perusahaan non finansial yang go public di pasar modal Indonesia
untuk tahun 1999 dan 2000, yang menunjukkan bahwa profitabilitas mempengaruhi
struktur modal perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Laili Hidayat (2001),
Bhaduri (2002), Ozkan (2001) serta Sekar Mayang sari (2001) juga mendukung
hasil penelitian kedua penelitian tersebut. Sehingga dalam penelitian ini,
profitabilitas mempunyai pengaruh negatif terhadap struktur modal.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian
yang telah di tulis
maka dapat diambil
kesimpulan bahwa Struktur Aktiva
(Tangibility),Growth Opportunity, Ukuran Perusahaan (Firm Size), Profitabiltas
dan Risiko Bisnis baik secara simultan
maupun parsial mempunyai pengaruh pada Keputusan Struktur Modal Suatu
Perusahaan.
Dari faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh satu dengan yang
lainnya. Sehing dengan demikian
Para Investor, Kreditor maupun Managemen Perusahaan hendaknya memberikan perhatian yang lebih
kepada informasi atas faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut.
0 comments:
Posting Komentar